Monday, April 14, 2014

Seminar on Literature Draft

(due to the academic regulation of Skripsi, text is narrated with Bahasa Indonesia)

This is not the final draft, this document is uploaded only to give a brief description about the thesis problem as well as how it was required.
  
Draft 1

Tokoh anak perempuan bernama Maggie Tulliver di dalam novel The Mill on The Floss karya George Eliot dihadirkan sebagai tokoh yang cerdas dan gemar membaca buku. Maggie lebih mampu berhasil dalam menggunakan imajinasinya daripada melakukan suatu kegiatan yang melibatkan tubuhnya. Maggie yang cerdas dan gemar membaca buku memberikan pandangan kepada Maggie untuk mengembangkan dirinya, untuk memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan pendidikan, seperti apa yang laki-laki dapatkan, dipandang sebagai hal yang bukan sepantasnya perempuan lakukan pada masa itu karena adanya dominasi laki-laki yang begitu kuat mengatur struktur hidup masyarakat, yang seolah-olah sukses melemahkan perempuan.  Penyajian tersebut akan mengawali bahasan mengenai keinginan novel dalam membentuk konsep perempuan baru, perempuan yang ingin keluar dari keterbatasannya, yaitu dengan menghadirkan tokoh perempuan yang ingin menjadi seperti laki-laki, yaitu dengan cara meniru. Proses meniru yang dihadirkan novel mengindikasikan adanya kesadaran perempuan, hasil dari dominasi laki-laki, akan keterbatasan yang dimiliki perempuan sebagai perempuan itu sendiri, bagaimana konsep tersebut dihadirkan melalui Maggie Tulliver dalam The Mill on The Floss, dan Dorothea Brooke dalam Middlemarch. Namun, tokoh perempuan yang dihadirkan meniru laki-laki, dengan berusaha menjadi sebagai subjek, justru membuat ambivalensi dalam mendefinisikan konsep perempuan itu sendiri, karena dengan meniru laki-laki, berarti perempuan telah secara tak utuh juga menjadi laki-laki, walaupun tidak mungkin bisa didefinisikan sebagai laki-laki karena perempuan juga tetap perempuan, jadi dengan bentuk meniru ini (perempuan yang menjadi seperti laki-laki), perempuan secara sadar telah melepaskan label “gender” yang ia miliki, walupun bukan secara biologis namun secara filosofis, dan terindikasi bahwa novel memunculkan paham “genderless”, yang apabila dikaitkan dengan teknik narasi novel, yaitu dimana narrator mahatahu bertindak seperti laki-laki, dimana narrator memegang “wewenang” penuh terhadap ceritanya dengan memberi instruksi, persuasi dan regulasi terhadap tiap pemikiran karakter dan alur cerita yang dinarasikan secara detail. Namun, unsur perasaan dan sensibilitas yang kuat juga ditekankan oleh pemilihan kata yang dinarasikan oleh narrator,  layaknya perempuan. Wewenang narrator yang begitu kuat dalam mengatur cerita, seakan berlaku seperti God, semakin memperkuat keambivalensian gender yang dibangun oleh novel, dimana dikutip dari Lynn Alexander yang mengutip F.W.H. Myers yang menulis mengenai George Eliot, bahwa “She… taking as her text the three words … God, Immortality, Duty,… how inconceivable was the first,…” (1988: 152), dimana novel melalui suara narrator mahatahu yang hadir seperti sosok “God” yang “inconceivable”, seperti sosok yang tak terdefinisi dalam apapun, terutama gender dalam penelitian ini. Ambivalensi gender diperkuat dengan signifikansi tokoh Silas di dalam Silas Marner, dimana Silas yang secara biologis adalah laki-laki namun dibangun memiliki konsep seperti perempuan, dan konsep ini juga tersaji dalam tokoh Phillip di The Mill on The Floss dan juga Mr. Causabon di Middlemarch.        

Draft 2
Helene Cixous dalam essaynya The Laugh of The Medusa berbicara mengenai keterbatasan perempuan dalam mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki, terdapat ketika Cixous menjelaskan permasalahan sosok perempuan yang menulis yaitu sebagai suatu hal yang menurut lingkungan sosial kala itu, tidak sesuai dilakukan karena pandangan yang muncul memandang perempuan sebagai sosok yang lemah dan menulis hanya “reserved for the great-that is, for "great men"” (1976: 876)
George Willis Cooke dalam bukunya George Eliot; A Critical Study of Her Life, Writings and Philosophy: Theory of The Novel (1884) berbicara tentang suatu konsep perempuan di dalam dunia sastra ketika ia menjabarkan beberapa point mengenai pemahamannya dalam mendefinisikan penulis perempuan berdasarkan tinjauan detailnya terhadap karya- karya George Eliot:
1.      Penulis perempuan hadir sebagai diri perempuan yang menulis sebagai perempuan, bukan untuk menulis sebagai laki- laki yang menulis.
2.      Penulis perempuan hadir sebagai “literary artist” yang bertujuan “to interpret the feminine  side of life”.
3.      Penulis perempuan hadir sebagai “new element” dalam menginterpretasikan kehidupan khususnya melalui pengalaman dan cara pandang perempuan terhadap kehidupan.
Ketidaksetaraan kedudukan antara perempuan dan laki-laki banyak disuarakan dalam bentuk pemikiran yang melawan, juga mendeskontruksi paham mengenai perempuan itu sendiri. Margareth Fuller dalam tulisannya Woman in the 19th Century, menjabarkan konsep baru mengenai perempuan dimana untuk mendapatkan kesetaraan, perempuan bukan berarti harus berusaha untuk menjadi seperti laki-laki, yaitu berusaha untuk mengambil alih subjektivitas serta dominasi dari tangan laki- laki, namun perempuan hadir sebagai subjek untuk sisi kehidupan yang  bukan “wewenang” laki-laki, atau sama halnya dengan penjabaran Cooke mengenai perempuan sebagai “new element”, dan pemahaman Fuller bahwa perempuan adalah “the heart” dan laki-laki adalah “the head”. Namun, hal tersebut memunculkan ironi, walaupun perempuan tidak berusaha untuk masuk ke dalam dunia laki-laki dan seperti memunculkan kesan bahwa perempuan memiliki dunia sendiri yang ada diluar dunia laki-laki, kehadiran perempuan sebagai “the heart” atau “new element” justru menghadirkan pandangan bahwa perempuan juga secara sadar atau tidak memiliki keinginan untuk menjadi seperti laki-laki, menjadi subjek seperti laki- laki, menjadi sebuah dominasi seperti laki-laki. Perempuan tidak mendapatkan pengalaman yang sama dengan laki-laki dalam masa tumbuh kembangnya dan hal ini yang menyebabkan ketidakmampuan perempuan hadir sebagai subjek dimana menurut Rosseau dalam penjabaran Mary Wolstencraft bahwa “the first year of youth should be employed to form the body” (179), dimana perempuan pada masa kecilnya diajarkan untuk memahami diri mereka sebagai “ornament”, seperti anak perempuan yang senang bermain boneka dan menganggap diri mereka adalah boneka tersebut, yang nantinya membangun pemahaman anak perempuan tersebut terhadap diri mereka sebagai objek (177), dimana apa yang mereka pahami tentang perempuan adalah perempuan seperti benda yang memiliki kemampuan untuk “mendekorasi” diri mereka agar terlihat cantik, dimana cantik dipandang, bagi perempuan, sama halnya dengan kelemahan, karena mereka hadir hanya sebagai objek yang memberi kesenangan kepada subjek, kepada laki-laki, dimana perlakuan yang perempuan lakukan tersebut, merupakan hal yang sangat menyenangkan bagi laki-laki (178). 

Thank you,
Monicha Nelis

1 comment: