(due to the academic regulation of Skripsi, text is narrated with Bahasa Indonesia)
This is not the final draft, this document is uploaded only to give a brief description about the thesis problem as well as how it was required.
Draft 1
This is not the final draft, this document is uploaded only to give a brief description about the thesis problem as well as how it was required.
Draft 1
Tokoh anak perempuan
bernama Maggie Tulliver di dalam novel The Mill on The Floss karya
George Eliot dihadirkan sebagai tokoh yang cerdas dan gemar membaca buku.
Maggie lebih mampu berhasil dalam menggunakan imajinasinya daripada melakukan
suatu kegiatan yang melibatkan tubuhnya. Maggie yang cerdas dan gemar membaca
buku memberikan pandangan kepada Maggie untuk mengembangkan dirinya, untuk
memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan pendidikan, seperti apa yang
laki-laki dapatkan, dipandang sebagai hal yang bukan sepantasnya perempuan
lakukan pada masa itu karena adanya dominasi laki-laki yang begitu kuat
mengatur struktur hidup masyarakat, yang seolah-olah sukses melemahkan
perempuan. Penyajian tersebut akan
mengawali bahasan mengenai keinginan novel dalam membentuk konsep perempuan
baru, perempuan yang ingin keluar dari keterbatasannya, yaitu dengan
menghadirkan tokoh perempuan yang ingin menjadi seperti laki-laki, yaitu dengan
cara meniru. Proses meniru yang dihadirkan novel mengindikasikan adanya
kesadaran perempuan, hasil dari dominasi laki-laki, akan keterbatasan yang
dimiliki perempuan sebagai perempuan itu sendiri, bagaimana konsep tersebut
dihadirkan melalui Maggie Tulliver dalam The Mill on The Floss, dan Dorothea
Brooke dalam Middlemarch. Namun, tokoh perempuan yang dihadirkan meniru
laki-laki, dengan berusaha menjadi sebagai subjek, justru membuat ambivalensi
dalam mendefinisikan konsep perempuan itu sendiri, karena dengan meniru
laki-laki, berarti perempuan telah secara tak utuh juga menjadi laki-laki,
walaupun tidak mungkin bisa didefinisikan sebagai laki-laki karena perempuan
juga tetap perempuan, jadi dengan bentuk meniru ini (perempuan yang menjadi
seperti laki-laki), perempuan secara sadar telah melepaskan label “gender” yang
ia miliki, walupun bukan secara biologis namun secara filosofis, dan
terindikasi bahwa novel memunculkan paham “genderless”, yang apabila dikaitkan
dengan teknik narasi novel, yaitu dimana narrator mahatahu bertindak seperti
laki-laki, dimana narrator memegang “wewenang” penuh terhadap ceritanya dengan
memberi instruksi, persuasi dan regulasi terhadap tiap pemikiran karakter dan
alur cerita yang dinarasikan secara detail. Namun, unsur perasaan dan sensibilitas
yang kuat juga ditekankan oleh pemilihan kata yang dinarasikan oleh narrator, layaknya perempuan. Wewenang narrator yang begitu kuat dalam mengatur cerita, seakan berlaku seperti
God, semakin memperkuat keambivalensian
gender yang dibangun oleh novel, dimana dikutip dari Lynn Alexander yang mengutip
F.W.H. Myers yang menulis mengenai George Eliot, bahwa “She… taking as her text
the three words … God, Immortality, Duty,…
how inconceivable was the first,…” (1988:
152), dimana novel melalui suara narrator mahatahu yang hadir seperti sosok “God” yang “inconceivable”, seperti sosok yang tak terdefinisi dalam apapun, terutama
gender dalam penelitian ini. Ambivalensi gender diperkuat dengan signifikansi tokoh
Silas di dalam Silas Marner, dimana Silas
yang secara biologis adalah laki-laki namun dibangun memiliki konsep seperti perempuan,
dan konsep ini juga tersaji dalam tokoh Phillip di The Mill on The Floss dan juga
Mr. Causabon di Middlemarch.
Draft 2
Helene Cixous dalam
essaynya The Laugh of The Medusa berbicara mengenai keterbatasan perempuan
dalam mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki, terdapat ketika
Cixous menjelaskan permasalahan sosok perempuan yang menulis yaitu sebagai
suatu hal yang menurut lingkungan sosial kala itu, tidak sesuai dilakukan
karena pandangan yang muncul memandang perempuan sebagai sosok yang lemah dan
menulis hanya “reserved for the great-that is, for "great
men"” (1976:
876)
George Willis Cooke
dalam bukunya George Eliot; A Critical Study of Her Life, Writings and
Philosophy: Theory of The Novel (1884) berbicara tentang suatu konsep
perempuan di dalam dunia sastra ketika ia menjabarkan beberapa point mengenai
pemahamannya dalam mendefinisikan penulis perempuan berdasarkan tinjauan
detailnya terhadap karya- karya George Eliot:
1.
Penulis perempuan hadir sebagai diri perempuan
yang menulis sebagai perempuan, bukan untuk menulis sebagai laki- laki yang
menulis.
2.
Penulis perempuan hadir sebagai “literary
artist” yang bertujuan “to interpret the feminine side of life”.
3.
Penulis perempuan hadir sebagai “new element”
dalam menginterpretasikan kehidupan khususnya melalui pengalaman dan cara
pandang perempuan terhadap kehidupan.
Ketidaksetaraan
kedudukan antara perempuan dan laki-laki banyak disuarakan dalam bentuk
pemikiran yang melawan, juga mendeskontruksi paham mengenai perempuan itu
sendiri. Margareth Fuller dalam tulisannya Woman in the 19th
Century, menjabarkan konsep baru mengenai perempuan dimana untuk mendapatkan
kesetaraan, perempuan bukan berarti harus berusaha untuk menjadi seperti
laki-laki, yaitu berusaha untuk mengambil alih subjektivitas serta dominasi
dari tangan laki- laki, namun perempuan hadir sebagai subjek untuk sisi
kehidupan yang bukan “wewenang”
laki-laki, atau sama halnya dengan penjabaran Cooke mengenai perempuan sebagai “new element”, dan pemahaman Fuller
bahwa perempuan adalah “the heart”
dan laki-laki adalah “the head”.
Namun, hal tersebut memunculkan ironi, walaupun perempuan tidak berusaha untuk
masuk ke dalam dunia laki-laki dan seperti memunculkan kesan bahwa perempuan
memiliki dunia sendiri yang ada diluar dunia laki-laki, kehadiran perempuan
sebagai “the heart” atau “new element” justru menghadirkan
pandangan bahwa perempuan juga secara sadar atau tidak memiliki keinginan untuk
menjadi seperti laki-laki, menjadi subjek seperti laki- laki, menjadi sebuah
dominasi seperti laki-laki. Perempuan tidak mendapatkan pengalaman yang sama
dengan laki-laki dalam masa tumbuh kembangnya dan hal ini yang menyebabkan
ketidakmampuan perempuan hadir sebagai subjek dimana menurut Rosseau dalam
penjabaran Mary Wolstencraft bahwa “the
first year of youth should be employed to form the body” (179), dimana
perempuan pada masa kecilnya diajarkan untuk memahami diri mereka sebagai “ornament”, seperti anak perempuan yang
senang bermain boneka dan menganggap diri mereka adalah boneka tersebut, yang
nantinya membangun pemahaman anak perempuan tersebut terhadap diri mereka
sebagai objek (177), dimana apa yang mereka pahami tentang perempuan adalah
perempuan seperti benda yang memiliki kemampuan untuk “mendekorasi” diri mereka
agar terlihat cantik, dimana cantik dipandang, bagi perempuan, sama halnya dengan
kelemahan, karena mereka hadir hanya sebagai objek yang memberi kesenangan
kepada subjek, kepada laki-laki, dimana perlakuan yang perempuan lakukan
tersebut, merupakan hal yang sangat menyenangkan bagi laki-laki (178).
Thank you,
Monicha Nelis