Sedikit Cerita tentang Menulis
“Selamat pagi Bu Atwin, ini Bab 1 saya setelah diperbaiki
dan direview lagi. Makasih bu, hope this
one is better J”
(dikirim pada 5 Juni 2014).
Kutipan tersebut tak hanya merupakan sebuah kalimat yang
senantiasa saya kirimkan kepada ibu Aquarini Priyatna selaku pembimbing utama
dalam penulisan skripsi, namun juga sebuah kalimat yang menandai proses
pembelajaran mengenai menulis dengan hati dan kaitannya dengan tanggung jawab. Saya
ingat betul ketika kali pertama saya bimbingan dengan Bu Atwin di hari Senin,
beliau berkata bahwa 45 menit yang kami gunakan ketika itu terbuang sia-sia
disebabkan oleh cara menulis saya yang begitu sulit dimengerti dan penulisan
dalam Bahasa Indonesia yang juga buruk. Saya terkejut.
Di hari Kamis, saya bimbingan lagi dengan Bu Atwin di kantor
beliau. Giliran pertama adalah Kak Nita, lalu Kak Fania yang sukses mendapatkan
pujian dari Bu Atwin atas tulisannya. Lalu majulah saya yang ketika itu yakin
bahwa tulisan saya juga tak kalah baik dari tulisan mereka berdua. Namun yang
kemudian terjadi di ruangan itu adalah tulisan saya yang justru merakit mesin
penenun hujan untuk kedua mata saya. Bu Atwin masih menolak, beliau berkata
bahwa tak ada perbaikan yang signifikan. Saya panik. Saya harus kembali ke
kursi tunggu, lalu berusaha kembali lagi ke Bu Atwin, namun ketika menghadap
beliau, tak tahu mengapa koneksi internet buruk, lalu saya pasrah dan kemudian pipi saya
basah.
Lucu memang jika diingat saya sampai menangis. Ketika itu
saya menyadari betapa gawatnya situasi saya yang apabila menulis tidak dapat
langsung menyentuh inti, tidak benar menggunakan tanda baca, dan tidak tepat
menggunakan berbagai macam kata. Terlebih lagi baru Bab 1. Saya menyadari
kebodohan tersebut dengan tangisan, namun kemudian Bu Atwin mengatakan sesuatu
yang pada akhirnya memberikan perubahan besar bagi pola pikir saya mengenai
menulis. Saya ingat beliau berkata bahwa menulis bukanlah ajang pamer. Beliau
juga berkata bahwa menulislah dengan jujur sehingga makna tulisan dapat sampai
kepada siapapun yang membacanya. Saya harus menulis dengan hati.
Mulai saat itu, saya berusaha lebih keras. Usaha saya di Bab
1 belum selesai karena harus menempuh proses kurang lebih 5 kali bolak-balik ke Bu Atwin. Namun pada tanggal 14 Agustus kemarin akhirnya saya berhasil mendapatkan nilai A untuk skripsi
saya dan janji yang pernah saya ucapkan untuk bisa sedikit meringankan beban Bu Atwin pun terpenuhi.
Ibu Aquarini Priyatna, saya benar mensyukuri
segala dukungan dan nasihat ibu, terutama ketika peristiwa menangis itu. Peristiwa
itulah yang membuat saya sadar bahwa saya masih begitu egois dalam menulis.
Terimakasih untuk selalu menginspirasi. Much
love for you bu J.
Namun tak berhenti disini,
saya juga ingin menyampaikan pesan
rahasia ke Pak Ari Jogaiswara bahwa saya bangga dengan tulisan saya. Saya bahagia
bisa membuat tulisan mengenai George Eliot sebagaimana rekomendasi bapak ketika
oral test Critical Theory berlangsung.
Saya bahagia karena Pak Ari lah yang pertama kali membimbing menulis
skripsi sekitar 6 bulan lalu. Saya bahagia karena bulan April lalu Pak Ari mengetik
nama saya berada di urutan pertama untuk maju pada SUJS. Saya mengucapkan
terimakasih banyak kepada bapak dengan harapan bahwa Pak Ari tidak akan
bertanya “kenapa?”. Thank you sir for
always being that amazing.
Lalu untuk Pak Taufiq Hanafi, terimakasih banyak untuk
nasihat dan masukan dari bapak agar saya lebih berhati-hati lagi ketika membahas
posisi perempuan dalam novel. Terimakasih banyak telah membuat saya memikirkan
lagi arti kata representasi yang senantiasa saya gunakan dalam skripsi saya. Terimakasih
telah menunggu saya dan Ira selama dua juta tahun lamanya untuk bimbingan ketika
itu. Terimakasih untuk sidang kemarin. Saya bahagia bisa dibimbing Pak Taufiq karena membuat banyak
mahasiswi iri khusunya angkatan 2011 (this one is not serious). Thank
you Pak Taufiq.
Monicha Nelis